Mata yang Teduh

Gerimis mulai turun ketika aku baru saja keluar dari gedung itu. Sebentar kemudian rintik-rintik hujan makin membesar meski tak deras. Seperti yang lain, aku pun buka payung, berjalan beriringan bersama orang-orang yang mulai mempercepat langkah menuju halte bis di blok depan, menyusuri trotoar di depan bangunan-bangunan tinggi kota.


Aku menjadi diriku sendiri hari ini, melupakan masalah rumit dengan suami, meninggalkan rutinitas, mencoba melihat atau malah menikmati hal baru, yang beda, yang kurasa lebih dinikmati orang lain, melihat perempuan-perempuan bermata hitam lukisan Jeihan yang dipamerkan itu. Ya, aku memerdekakan diri, bahkan dari anak-anakku. Oke, aku minta maaf telah menelantarkan mereka.  Ah, tidak, sebentar lagi aku sudah ada di sisi mereka.

Kenapa tidak dari dulu-dulu aku mencobanya? Kemana aku dulu? Belajar teratur di masa muda, bekerja siang dan lelah di malam, bahkan Minggu pun hilang, diri dan keluarga jadi taruhan, mengukir karir kata orang?

Ah, apakah lebih indah, jika mata manusia tidak berwarna seperti di lukisan itu? Hitam saja! Mungkin saja. Ah, tidak bisa. Orang lebih suka dengan warna. Pelangi lebih menarik daripada gelap malam yang pekat. Atau, karena mata manusia berwarna dia juga suka warna? Lalu bagaimana kalau warna mata hanya hitam saja? Semua terlihat seragam? Tak ada warna? Tak ada pelangi? Tak ada warna lampu kota yang mulai menyala ini? Lalu apa yang dilihat oleh mata-mata gelap di lukisan itu seandainya ia hidup?

IMG20170714171548

                                                                                                                                    Bali sunset at jimbaran


Ah, ternyata nikmat juga, membebaskan pikiran, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari apa yang terlihat, menarik ke sana ke mari entah penting atau tidak, berguna atau tidak. Bebas, biar saja, bebas! Aku ingin bebas kali ini, tidak dihimpit masalah. Biar masalahku dibawa oleh mata-mata hitam itu. Diriku, inilah dia yang baru saja mencuci diri.

Ciiiitttt, derit gesekan benda aku dengar tiba-tiba. Ya, Tuhan! Aku telah berada di jalan, di garis putih penyeberangan. Mobil itu dekat sekali. Ia bergerak lambat, mencicit membentuk gema panjang di telingaku, menyerong, memutar selip. Ia mengerem menghindari menabrakku.

“Ya, Tuhan! Aku ketabrak! Tetapi kenapa semua menjadi lambat? Aku ingin berlari, tetapi kenapa kakiku terasa berat sekali. O, tidak, aku  tak bisa menghindar,” hatiku menjerit.

Bruk, keras sekali, mobil itu menghantamku yang hanya bisa sedikit mengelak. Payung itu menghancur karena aku gunakan menahan benturan. Aku terpelanting ke udara. Sopir itu ketakutan sekali. Gema derit suara mobilnya tak berhenti. “Ah, kau wanita juga?” Ia menutup mata rapat-rapat, mengatup sampai lipatan-lipatan kulit matanya terlihat. Ia makin mengencangkan matanya. Aku melihat lipatan itu bergerak, merapat dan merapat, hingga kepalanya terbentur setir.

Aku menyadari kakiku yang terentang, mulai terangkat ke atas, membalik badan dan kepalaku ke bawah, sementara satu tanganku terjuntai ke depan bawah dan yang lain ke belakang. Tubuhku bergerak bersama dengan mobil yang lambat tak berhenti.

Sekejap, aku teringat anak-anakku. Mereka terlihat seperti gambar-gambar, tertawa, menangis, bermain, berlarian. Dan karenanya, aku merasa mulai menangis, menangisi diriku sendiri, tak tahu akan menjadi apa.

Orang-orang di pinggir jalan, ketakutan, terkejut, tak mengira, melihat badanku yang mulai terangkat tak berdaya. Ada yang mulai menggerakkan, mengangkat kedua tangannya mau menutup muka. Bibir mereka perlahan mulai membuka mengucap kata, “T-i-d-a-k-!” Aku mendengar banyak dari mereka meneriakkan kata itu bercampur dengan “A-w-a-s.” Aku mendengar setiap hurufnya, membentuk gema panjang bersusulan di telingaku. Ada yang terduduk lemas, kakinya seperti tak kuat menahan badannya, melesu, perlahan turun sementara tangannya ditarik ke atas ke arah kepala. Ada yang badannya menyorong ke depan, mulai berlari? Menolong? Mereka seketika terkejut, seketika menyesalkan kejadian yang menimpaku.

Hujan aku rasakan menitik satu per satu di kulit muka dan tanganku yang tak tertutup baju. Seperti hujan yang tak deras, tetapi menitik cepat banyak di sana sini bergantian kadang bersamaan. Angin yang datang bersama hujan memanjakan aku dengan tiupan yang bergerak halus.

Mobil itu berhenti, serong. Hanya aku, hanya aku yang melayang, melayang di atas mobil itu. Sementara, tanganku tergerak menjulur meraih mobil  yang aku lihat dekat, namun tak juga segera sampai. Pengemudi wanita itu pelan sekali membuka matanya, terlihat dari keningnya mengalir  darah, sembari mulai mengangkat wajah.

Semua melambat. Napasku aku rasakan seperti aliran air yang membasahi leher dan kemudian lambat terasa menjalar ke seluruh tubuh.

Bayangan itu berkelebat cepat di antara semua yang melambat, tertangkap oleh mataku tiba-tiba. Hanya ia yang bergerak cepat. Tadi sekejap aku lihat samar-samar ia ada di ujung sana, tetapi sekarang sudah ada di sini. Ia bergerak seperti menyibak kabut. Setiap gerakannya menimbulkan guratan-guratan udara yang bergerak ke belakang tubuhnya.  Kenapa ia berbeda?

“Hai dimana kau? Lihat, aku ingin melihatmu!” hatiku menjerit ketika ia menghilang.

Ia memberiku kesadaran akan udara yang mengalir deras sekali pada napas yang aku hirup. Ah, napasku? Dimana ia? Kenapa aku jarang sekali menarik napasku? Sejak terpelanting dan kemudian melayang tadi aku baru merasakan satu aliran yang membasahi leherku. Ah, ini dia, aku mengisap udara. Kenapa lama sekali, aku mengisapnya lama sekali? Udara itu terasa menyentuh rambut dan kulit di dalam hidungku.

“Hai! ” Aku melihat bayangan itu kembali!

Ia ada di sisi kanan mobil di antara orang-orang itu. Diam, ia diam berdiri saja dengan tubuh yang santai, tak seperti yang lainnya. Ia menarik pandanganku ke matanya. Mata yang teduh, teduh sekali. Ia memandangku, aku memandangnya. Ia tersenyum dan seketika membuatku tersenyum juga. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari matanya. Mata yang teduh, seperti ada lubang yang dalam sekali di sana, atau jalan yang panjang sekali tak berujung, yang lebar, lebar sekali.

“Boleh aku masuk?” hatiku bertanya setelah merasakan ia memanggilku masuk ke dalam matanya. Udara di sekitarku mulai bergerak ke belakangku. Aku merasakan mata itu menarikku, membawaku masuk ke dalamnya, cepat sekali melebihi pikiran-pikiranku yang silih berganti dan hatiku yang bersuara ini dan itu.

Tiba-tiba aku sudah berada di kegelapan yang luas sekali. Aku bisa merasakannya, dan juga tak bisa percaya, tak terbayang, tak pernah terbayang. Hanya aku, hanya aku di sana. Mata itu, aku di dalam mata itu? Jalan yang lebar dan panjang itu tak ada di sana. Lubang dalam itu pun tak ada. Tak ada apa-apa. Hanya aku dan hitam gelap yang tak tersentuh.

Melayang, aku melayang, tak ada tempat pijak, tak ada langit, tak ada dinding, tak terbatas. Udara seperti pekat menyelimuti, seperti di dalam air yang hitam, tetapi air itu adalah udara; seperti selimut, yang menyentuh seluruh kulitku, sutra lembut, menarik mengulur, memanjang memendek, menurut dan mengikuti gerakanku.

Aku merasakannya dari seluruh kulitku, seperti memegangiku, tetapi dibiarkan bebas juga. Mungkin aku adalah kelinci di padang rumput, makan sepuasku, berlari ke sana ke mari tak takut, karena ada harimau-harimau di sekelilingku yang menjaga. Aneh, aku merasa aneh. Ya, aku ada di lautan sutra lembut yang membuatku nyaman meskipun gelap, seperti terlindungi dari bahaya segala bahaya, membuatku merasa bebas.

Kemudian aku mulai menggerakkan diri perlahan, memutar, meliuk, menari, melebihi lumba-lumba. Aku menikmatinya. Sesuatu di dalam diriku mendorongku untuk meluncur, membalik, makin cepat. Aku bergerak, bebas. Aku mengikuti dorongan di dalam diriku sendiri, terus dan terus.

Lalu tiba-tiba kegelapan itu menjadi terang, putih, cerah, tak ada rasa panas tetapi kesejukan. Cahaya itu membuat sejuk. Sejenak aku terdiam. Inilah ketakterbatasan tadi; tak ada dinding, langit-langit, atau lantai. Lalu aku bergerak lagi, berputar dan semuanya aku lakukan. Aku bebas.

Ada, terlihat, titik-titik cahaya seperti matahari. Ia jauh ada di sana, beberapa tersebar. Sambil terus bergerak, aku mencermati mereka. Lalu ada satu yang mendekat. Aneh lagi, terang yang dipancarkannya tak berubah ketika ia jauh dan ketika dekat. Ia mendekat terus, bulat seperti bandul bertali mainan anak-anak. Aku terdiam lagi terpana olehnya, berpikir, “Apakah ini?”  Ia makin mendekat cepat, dan aku mencoba menangkapnya. “Hah?” aku terkejut, berteriak sendiri. Ia tak berasa. Aku tak dapat menyentuhnya. Ia menjauh cepat sekali. Bandul cahaya yang lain ada yang mendekat tetapi aku tak dapat menjangkaunya.

Aku terdiam.

Kemudian dorongan di dalam diriku yang mengajakku bergerak bebas, mengajakku, “Dekati cahaya itu!” dan sekejap kemudian aku sudah berada di dekat cahaya itu. Namun cahaya itu secepat kilat telah menjauh. Aku terheran-heran. Aku berpikir untuk mendekati cahaya yang lain, dan seketika aku telah ada di sana. “Hah? Bagaimana bisa?”

Namun, cahaya itu telah jauh ketika keterkejutanku belum hilang. Ia menjauh begitu aku ada di dekatnya. Aku berpikir cepat mendekatinya, begitu aku melihat dan pasti aku berada di dekatnya. Lalu cahaya itu pasti menjauh saat itu juga. Aku seperti berkejar-kejaran dengan banyak cahaya itu, cepat sekali. Aku heran, terkejut, bingung. Tetapi makin lama aku hanya ingin menikmatinya saja; berpikir di sini maka di sini, berpikir di sana maka di sana. Diriku masih ingin ke sana ke mari, bergerak bebas. Semuanya menyejukkan, membuatku tenang, senang, ke sana, ke mari, cepat sekali, bebas sekali.

Perlahan-lahan aku mulai merasakan, ada yang lain di tempat ini. Aku tidak sendiri. Aku di sini, sementara ia di sana. Aku merasakannya, “Itu dia!” Mataku menangkap bayangannya. Seketika aku sudah berada di tempatnya, namun ia sudah tak ada. Lalu, “Di sana!” dan tubuhku bergerak ke sana. Namun ia sudah tak ada lagi. Terus dan terus aku dan dia berkejaran.

Hingga aku terdiam dan melihatnya saja. Bayangan itu di sana, menari bebas. Dari jauh, aku mulai mengikuti gerakannya. Ia meliuk aku meliuk. Ia meluncur ke atas, aku meluncur ke atas. Ia berputar, aku berputar. Sampai aku merasa mulai mendekatinya dan semakin dekat, sampai aku berada di sisinya, di sampingnya dekat sekali. Ia dan diriku bergerak dengan gerakan yang sama.

Mengejutkan, aneh, wajahnya sama dengan wajahku. Tubuhnya sama dengan tubuhku. Rambutnya yang terurai mengikuti gerakannya, sama dengan rambutku. Ia tersenyum dan aku tersenyum.

IMG20170714214531

                                                                                                                                           Orchid at Ngurah Rai

Ia seperti tersadar, tahu, aku telah mengukur dirinya dengan diriku. Perlahan, diriku dan dirinya makin dekat, dekat dan dekat sekali, merapat, hingga, “Ah…!” Aku berteriak keras-keras, tersentak, mengejang. Ia yang merapat, menghilang dan masuk ke dalam diriku. Dan aku tersentak, terkejut. Ia yang seukuran denganku seperti telah mendesak sebagian dari diriku dengan dirinya.

“Ah!” aku masih berteriak, panjang, tak tahan. Tubuhku membalik, berjumpalitan, berputar hebat, di sini, di sana, bergerak teramat cepat, tak berhenti.

Lalu seketika aku melihat mata yang teduh itu menatapku, tersenyum kecil, mengejutkanku, “Ia?”

Sekejap kemudian aku merasakan tubuhku yang miring tak karuan, mulai merasakan tanganku bersentuhan dengan benda keras dan kasar. Aspal jalan, aku melirik ke aspal jalan itu. “Tanganku!” pikirku. Satu tanganku telah menyangga tubuhku pada aspal dengan tenaga semampunya. Sementara kakiku, aku melirik ia ada di atas. Aku terjungkir, miring.

Orang-orang itu belum beranjak dari tempatnya masing-masing, masih seperti tadi. Ada yang mulutnya menganga, ada yang mulai lemas terduduk, menutup muka, tak tega, memegang kepala dengan dua tangannya. Ada yang badannya menyorong seakan mulai berlari ke arahku. Tujuh hingga delapan langkah lagi ia sampai di tempatku ini. Sementara pengemudi wanita itu membalikkan wajahnya ke arah depan, ke arahku, tangannya seperti membuka pintu mobilnya.

Sebentar kemudian, bruk, tubuhku menyentuh aspal, tangan, bahu, kepala dan kemudian badan serta kakiku. Tubuhku miring, dan sebentar kemudian terguling dan terlentang. Orang-orang itu mengejarku.

“Cepat tolong aku!” terasa lama sekali mereka baru sampai di tempatku jatuh. Mereka memegangiku; kaki, tangan, kepala, lalu leher.

“Masih hidup!” salah satunya berteriak.

“Iya tentu saja!” aku masih menyahut tetapi tampaknya tak mereka dengar.

“Cepat, telepon ambulan! Cepat!” entah ia, siapa, keras berteriak pada siapa.

Wanita itu berjalan ke arah kemudinya dan membuka pintu belakang.

Mata yang teduh itu? Aku mencarinya. Dan ternyata, ia masih berdiri di sana, dengan mata yang aku lihat sesungguhnya mampu memuat bumi dan segala isinya ini. Aku tersenyum kepadanya.

“Cepat!” teriak satu orang pria yang menggendongku di bagian kepala.

***

“Syukurlah Rin! Kamu sudah siuman!” kata-kata pertama ibu, menggangguku yang mengingat rangkaian gambar di kepalaku yang seingatku belum lama aku alami. Gambar-gambar itu, di dalam mata yang teduh itu. Apakah ingatanku akan kejadian itu karena mata itu juga?

Anak-anakku, samar terdengar memasuki ruang tempatku dirawat. Satu orang berdiri di sampingku, dan adiknya dipangkuan ibuku.

“Hai?” kata-kataku lemah, tanpa bisa bergerak, mungkin tak terdengar, terbata-bata, “masih rajin belajar, kan?”

“Iya!”

“Iya!”

“Sudahlah, Rin! Sembuhlah dulu” mereka bertiga saling melempariku dengan kata-kata, bersautan.

“Ibu sudah baikan, ya?” kata si kecil.

Aku melihat mereka. Aku menikmati pandangannya.

“Syukurlah!” kata ibuku dengan matanya.